Oleh : Darul Ulum
Perkuliahan Filsafat Ilmu
Terinspirasi oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A
Refleksi 1, Kamis 02 Oktober
2014
“Kasih sayang orang tua itu kekal sepanjang masa” Itulah sepenggal
kalimat yang dapat kita utarakan dan lantunkan dalam hidup kita semoga Allah
SWT senantiasa melindungi beliau agar diberi kesehatan lahir maupun batin.
Apalagi tatkala kita jauh berada disisi ayah dan ibu kita serasa sungguh terasa
betapa besar kasih sayang yang mereka curahkan kepada kita hingga kita
menginjak dewasa seperti sekarang ini. Masih terasa di hari besar Idul Adha kemaren
disaat kumandang takbir tersyiarkan diseluruh pelosok bumi ini disaat ribuan
umat muslim merayakan hari raya qurban dengan penuh suka dan cinta, berkumpul
bersama, dan kebesaran akan syukur nikmat karunia yang diberikanNya, saat itu
pulalah kita merasakan betapa kasih tulus orang tua sangat tak dapat
tergantikan saat-saat kita jauh bermukim sebagai tholabul ‘ilm yang mulia di
kota pelajar ini.
Dahulu tatkala kita masih remaja berkumpul satu rumah dengan orang
tua jelas begitu banyak cerita lika liku hidup kesalahan yang pernah kita buat
selama ini banyak sekali kontradiksi baik pemikiran, pendapat, pilihan dan
aturan-aturan yang seolah-olah tidak sesuai dengan yang kita kehendaki, bahkan
secara emosional terkadang kita keluar batas lingkup antara obyek dengan
subyek. Kita harus tahu siapa objek dan siapa subyek sebenarnya, yang pasti semua
sifat baik yang buruk (predikat) selalu mengenai subyek. Kita sebagai subyek
secara emosional terkadang tidak bisa berpikir jernih membedakan antara ruang
dengan waktu. Disaat gejolak emosional menyelimuti kabut hitam hati pikiran
kita disaat itu pulalah lingkup ruang semestinya kita berhadap sebagai seorang subyek,
terkadang suatu hal yang terpikirkan dan sudah kita anggap benar dan dirasa
yakin kenyataan dilapangan menjadi dugaan yang meleset karena tak satupun orang
dapat mengetahui lingkup ruang tersebut. Sebaliknya dengan lingkup waktu
tatkala kita sebagai subyek menyalahi prosedur siapa subyek dan siapa obyek
mungkin karena berpikir rasional bahwa subyek memiliki pendidikan yang mumpuni
dan lebih tinggi dari pada obyek menjadikan subyek diatas langit tak
terkalahkan dan diluar batas lingkup ruang
dan waktu terhadap pemikiran dan idealisnya. Ketahuilah bahwa meskipun kita
sudah berpendidikan tinggi setinggi lagit bahkan sedangkan orang tua tidak
pernah mengenyam pendidikan formal seperti kita tetapi kepintaran dan kehebatan
mereka jauh lebih hebat dari kita, bukti riil nya mereka dengan hebat memiliki
insting yang kuat tentang hidup terlebih mampu mendidik putra putrinya ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari padanya.
Manusia yang diciptakan dengan keadaan lemah sudah barang tentu
akan merasa kesulitan dalam menghindari sebuah jebakan filsafat. Kesadaran yang
merdeka, keikhlasan yang bersih dan tak bersyarat, perhatian, minat,
pengertian, dst, semua itu sering kali menjebak. Manusia berbuat tapi
sebenarnya ia tak berbuat. Manusia berucap tapi sebenarnya tak berucap. Jebakan
atau bukan hanya hati kecil yang menyadarinya dan mengetahui. Sebuah tindakan
bisa saja sebagai jebakan bila tidak sejalan dengan kata hati. Suatu ucapan
yang keluar dari mulut bisa jadi sebuah jebakan bila memang bersebarangan apa yang
ada dalam hati. Semua hal dapat dianggap sebagai jebakan ataukah tidak, hanya
hati kecil yang akan mengetahui. Dunia lebih banyak dipenuhi oleh
jebakan-jebakan, sebab “Wa ma al-hayat al-dunia illa mata’ al-ghurur” (dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu). Q.S al-Hadid:
20. Itulah perlunya kita belajar lebih dalam lagi tentang ilmu filsafat menilai
segala sesuatu itu tidak sekedar hanya dalam formal tetapi juga normatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar