A.
Sejarah Singkat PMRI
Sebelum
membicarakan tentang landasan filosofi PMRI atau Realistik Mathematic Education (RME) akan dipaparkan terlebih dahulu sejarah singkat RME, (Panhuizen, 2001:
2-3). RME mulai dikembangkan sekitar awal tahun 1970-an. Freduental dan
koleganya meletakkan fondasi untuk pembentukan IOWO, yang merupakan cikal bakal
terbentuknya Institut Freduenthal. Gerakan ini pada awalnya diinspirasi oleh
proyek Wiskobas yang diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffire sekitar tahun 1968.
Pendekatan
pembelajaran RME dipengaruhi oleh pandangan Freudenthal tentang matematika.
Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan
pengalaman siswa, dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian
dari nilai kemanusiaan. Freudenthal menekankan ide bahwa matematika sebagai
suatu aktivitas insani (human activity). Pembelajaran matematika harus
memberikan kesempatan kepada siswa dengan bimbingan guru siswa diharapkan dapat
menemukan kembali matematika dengan jalan mengerjakannya. Hal ini berarti dalam
pendidikan matematika yang menjadi sasaran utamanya adalah matematika sebagai
kegiatan dan bukan sebagai sistem tertutup. Fokus pembelajaran matematika harus
pada kegiatan bermatematika atau matematisasi.
Siswa
dalam kegiatan pembelajaran dengan RME diberi kebebasan untuk dapat
mendiskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual yang
diberikan dengan caranya sendiri kemudian dengan bimbingan guru siswa diarahkan
untuk mendiskripsikan dan menyatakan penyelesaian tersebut secara formal.
Proses penjelajahan, penginterpretasian, dan penemuan kembali dalam pendekatan
RME menggunakan konsep matematisasi horizontal dan matermatisasi vertikal, yang
diinspirasi oleh cara-cara pemecahan masalah dengan cara informal yang
digunakan oleh siswa (Freduenthal, 1991: 41). Graveimeijer (1994: 84)
menggambarkan kedua proses matematisasi tersebut dalam gambar berikut.
Gambar 1. Matematisasi Horisontal dan Vertikal
Proses
dalam matematisasi horisontal bisa digambarkan secara singkat sebabagi berikut.
Siswa dihadapkan pada soal-soal kontekstual yang harus dipecahkan/diselesaikan.
Siswa mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri,
kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat
menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa lain.
Dalam
matematisasi vertikal, dimulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka
panjang disusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelasaikan
soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan kontekstual (Sutarto Hadi,
2005: 21).
B.
Prinsip Kunci RME
Gravemeijer
(1994: 90-91) menjelaskan prinsip kunci RME, selanjutnya prinsip diapopsi dan
digunakan dalam melaksanakan PMRI. Prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1.
Penemuan (kembali) secara terbimbing (guided
reinvention)
Melalui proses pemecahan masalah yang disajikan, siswa
harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang
dilalui oleh pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep metematika.
2.
Fenomena didaktik (didactical
phenomenology)
Topik-topik matematika yang diajarkan mesti dikaitkan
dengan fenomena sehari-hari. Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan
yaitu aplikasinya dan kontribusinya untuk perkembangan matematika lebih lanjut.
3.
Pemodelan (self development models)
Pengembangan model yang dilakukan sendiri oleh siswa
dapat digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan antara pengetahuan informal
dengan matematika formal. Melalui pembelajaran dengan pendekatan RME, siswa
mengembangkan model mereka sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual.
Pada awalnya, siswa akan menggunakan model pemecahan yang informal (model of).
Setelah terjadi interkasi dan diskusi dikelas, salah satu pemecahan dilakukan
siswa akan berkembang menjadi model yang formal (model for).
C.
Karakteristik RME
Treffers dalam (Gravemeijer, Van De Heuvel,
Streefland, 1990: 4-7), merumuskan karakteristik RME sebagai berikut:
1.
Constructions stimulated by concreteness
Dalam pembelajaran dengan RME masalah nyata dijadikan titik awal pengalaman
pembelajaran. Siswa diharapkan bisa mengeksplorasi masalah nyata tersebut,
menemukan dan mengidentifikasi konsep matematika yang relevan, membuat skema,
dan mengembangkan model yang dihasilkan. Selanjutnya dengan refleksi dan
generalisasi diharapkan siswa dapat mengembangkan konsep matematika tersebut
lebih sempurna.
2.
Development mathematical tools to move from
concreteness to abstraction
Pembelajaran konsep atau skill matematika
merupakan proses panjang yang melalui level/tingkatan abstraksi yang berbeda.
Perlu diberikan kesempatan yang panjang kepada siswa dalam level untuk proses pengembangan
abastraksi. Untuk membantu siswa dalam mengembangkan konsep matematika
mula-mula perlu diberikan alat bantu yang nyata, kemudian secara bertahap alat
bantu yang diberikan diganti dengan alat bantu yang lebih bersifat formal.
3.
Stimulating free productions and refletion
Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika
siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi
suatu masalah kontekstual atau realistik secara formal, melalui skematisasi memperoleh
pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi masalah
matematis secara formal.
4.
Stimulating the social activity of learning
by interaction
Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai
aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan
strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta
menanggapinya.
5.
Intertwining learning strands in order to get
mathemathical
Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam
matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah,
tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.
D.
Pengertian Pendekatan PMRI
Landasan
filosofi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah Realistic
Mathematics Education (RME). Seperti telah disampaikan teori berangkat dari
pendapat Frudenthal (1991: 14) bahwa matematika aktivitas insani dan harus
dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari
sifat matematika sesorang dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi atau
matematisasi materi pelajaran. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat
dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan
matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang
memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika
berdasarkan usaha mereka sendiri.
Pengertian
masalah nyata dalam hal ini bisa benar-benar masalah yang disajikan berasal dari
kehidupan sehari-hari, namun bisa juga berupa suatu masalah yang dapat
dibayangkan dalam benak siswa. Hal ini juga dapat dikategorikan sebagai masalah
nyata, sebagaimana yang dikemukakan oleh Panhuizen (2001: 3). Lebih lanjut dia
mengatakan bahwa dunia formal matematikapun dapat dijadikan sebagai masalah
kontekstual sepanjang hal itu nyata dalam benak siswa.
Berbeda
dengan pembelajaran konvensional pembelajaran PMRI tidak dimulai dari definisi, teorema atau
sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh soal dan penerapannya.
Namun sifat-sifat, definisi, teorema, itu diharapkan ditemukan kembali oleh
siswa melalui kegiatan pembelajaran pemecahan masalah dengan konteks yang
relevan (Wijaya, 2011: 28).
Berdasar
uraian tersebut maka dapat disimpulkan pendekatan pembelajaran PMRI adalah
pendekatan pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan
masalah nyata (kontekstual), dan lingkungan siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan caranya sendiri baik secara individu maupun dalam kelompok kecil.
Kemudian dengan bimbingan guru siswa diarahkan untuk dapat merumuskan
penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk matematika formal.
E.
Karakteristik PMRI
Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan pembelajaran yang diadopsi
dari RME, sehingga memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan ciri-ciri yang
dimiliki RME (Wijaya, 2012: 21-23), yaitu sebagai berikut.
1.
Penggunaan
masalah kontekstual
Konteks atau
masalah realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran. Melalui konteks,
siswa dilibatkan secara akatif untuk melakukan kegiatan eksplorasi masalah.
Hasil eksplorasi siswa diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi
penyelesaian masalah, disamping bertujuan untuk menyelesaikan masalah.
2.
Penggunaan
model
Penggunaan
model berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan dan matematika tingkat
konkret menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model tidak identik
dengan alat peraga, model dalam hal ini merupakan suatu alat vertikal dalam
proses matematisasi horizontal. Model merupakan proses transisi dari level
matematika informal menuju level matematika formal.
3.
Pemanfaatan
hasil kinstruksi siswa
Sesuai dengan
pendapat Freudental, bahwa matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai
produk jadi yang siap dipakai. Matematika merupakan kegiatan, konsep-konsep
matematika dibangun kembali oleh siswa dalam kegiatan pemecahan masalah
realistik.
Siswa diberi
kebebasan mengembangkan strategi dalam memecahkan masalah. Dengan demikian bisa
diperoleh strategi pemecahan masalah yang beragam. Karakteristik ketiga ini dapat mengembangkan aktivitas
dan kreativitas siswa serta bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep
matematika.
4.
Interaktivitas
Proses belajar
merupakan proses sosial, bukan hanya proses individu. Proses belajar siswa akan
lebih singkat dan bermakna ketika terjadi interaksi sosial di dalamnya. Dengan
interaksi sosial siswa dapat saling mengkomunikasikan ide, gagasan dan hasil
kerja mereka, sehingga diharapkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep
matematika semakin baik dan utuh.
5.
Keterkaitan
Konsep-konsep
dalam matematika memilki keterkaitan satu
dengan yang lainnya. Dalam proses pembelajaran keterkaiatan antar konsep ini
harus dipertembingkan, agar siswa dapat memahami bahwa konsep-konsep dalam
matematika tidak berdiri sendiri, tidak bersifat parsial. Dengan demikian siswa
dapat memahami matematika secara bermakna.
F.
Konsep PMRI
Dikemukakan oleh Sutarto Hadi (2005: 36) bahwa teori PMRI sejalan
dengan teori belajar yang berkembang saat ini, konterktivitisme dan
pembelajaran kontekstual (CTL). Namun baik kontruktivisme maupun pembelajaran kontekstual
mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMRI suatu teori pembelajaran
yang dikembangkan khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu,
bahwa konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk
memperbaiki pendidikan di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana
meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengemabangkan daya nalar.
Lebih lanjut berkaitan dengan konsepsi PMRI ini. Sutarto Hadi (2005: 38:40),
mengemukakan beberapa konsepsi PMRI tentang siswa, guru dalam pembelajaran yang
mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga PMRI
pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
1.
Konsepsi
PMRI tentang siswa adalah sebagai berikut.
a. Siswa
memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya.
b. Siswa
memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri.
c. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,
penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d. Pengetahuan
baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman.
e. Setiap
siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
2.
Konsepsi
PMRI tentang guru adalah sebagai berikut.
a. Guru
hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran
b. Guru
harus mampu mampu pembelajaran yang interaktif
c. Guru
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada
proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan
real.
d. Guru
tidak terfokus pada materi yang ada di dalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan
kurikulum dengan dunia real, baik fisik maupun sosial
G.
Contoh Soal PMRI dalam KTSP
Kisi-Kisi Soal Pilihan Ganda Materi PtLSV
Standar Kompetensi: Menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidak-
samaan linier satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan masalah.
Kompetensi Dasar
|
Indikator
|
No. Butir
|
3.1 Membuat model matematika
dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel
|
3.1.1. Menyebutkan informasi penting
yang berkaitan dengan soal cerita yang berbentuk persamaan linier satu variabel
|
1
|
3.1.2. Membuat model matematika
yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel
|
3
|
3.1.3. Menyebutkan
informasi penting yang berkaitan
dengan soal cerita yang berbentuk pertidaksamaan linier satu variabel
|
4
|
3.1.4. Membuat model matematika
yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel
|
5
|
3.1.5. Membedakan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan
persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel
|
2
|
Pilihlah dengan jawaban yang benar
1. Berikut ini yang
merupakan penerapan persamaan linier satu variabel dalam kehidupan sehari-hari
adalah ....
a. Harga 6 kg jeruk
adalah tidak lebih dari Rp 20.000
b. Dengan membeli 2
pensil dan 4 buku, Ratih membayar sejumlah Rp 8.000
c. Andi membeli 2 kg
mangga lebih murah Rp 3.000 dari harga 5 apel
d. Dengan uang Rp 20.000, andi
dapat membeli apel 2 kg dan masih ada kembalian Rp 2.000
2. Pahamilah
pernyataan berikut ini!
(i) Sebuah kelas
terdiri atas 40 siswa, dimana jumlah siswa laki-laki kurang dari 10 siswa
perempuannya
(ii) 3 kg buah salak
dengan uang Rp 10.000 masih ada kembalian Rp 1.000
(iii) Dua kali kelereng Arif ditambah dua lebih sedikit dari
pada jumlah kelereng Firman diambil delapan
(iv) Harga 10 buah mangga,
pembeli dapat membayar kurang dari Rp 25.000
Dari pernyataan diatas, yang merupakan masalah persamaan linier satu
variabel adalah ....
a. (i) dan (ii) c.
(ii) dan (iii)
b. (i) dan (iii) d. (iii) dan (iv)
3. Berat seekor ikan
adalah p kilogram. Jika ditambahkan y kilogram maka beratnya
menjadi 6 kilogram. Model matematika yang benar adalah ....
a. y = p – 6 c. y = 6
– p
b. y = p + 6 d. y = p/6
4. Berikut ini yang merupakan masalah
sehari-hari yang tepat untuk menyatakan model matematika 4x + 6 < 17
adalah ....
a. Jumlah seluruh
kelereng Anton adalah tidak kurang dari 17, dan sebelumnya ia mempunyai 4x
kelereng, lalu membeli sebanyak 6 kelereng.
b.
Sebelum
membeli 6 kelereng, Romi telah mempunyai 4x kelereng, sehingga secara
keseluruhan ia mempunyai kurang dari 17 kelereng
c. Selisih 6 kelereng dari
17 kelerang Anton adalah kurang dari 4x buah kelereng keseluruhan
d. 4x kelereng kakak diberikan adik 6 kelereng,
sehingga jumlahnya tidak kurang dari 17 kelereng.
5. Seekor ayam mempunyai berat m
kilogram. Jika ditambahkan 3m kilogram maka beratnya menjadi 14 kilogram.
Model matematikanya adalah ....
a. m = 3m – 14 c.
m = 14 – 3m
b. 3m = m + 14 d. m = 3m/14
Daftar Pustaka
Freduenthal, H. (1991). Revising mathematics
education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Gravemieijer, K.V.E, Panhuizen, V.H, & Sreeflan, L. (1990). Contexts
free productions test and geometry in realistic mathematics education. Utrecht:
Technipress.
Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan matematika realistik dan
implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Panhuizen, M.H. (2001). Realistic mathematics education as work in
progress, proceeding of 2001 the Netherlands and Taiwan conference on
mathematics education. Taipei, Taiwan 19 – 23 Nopember 2001.
Wijaya, A. (2012). Pendidikan matematika realistik: suatu alternatif
pendekatan pembelajaran matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
*SEMOGA BERMANFAAT*