Jumat, 22 September 2017

Muhammad Bin Musa Al-Khawarizmy

 Algoritma & Aljabar

Inilah penghargaan terbesar terhadap Muhammad Bin Musa Al-Khawarizmy. Istilah "Algoritma" (Inggris: Algorithm) diambil dari namanya, begitu pula istilah "Aljabar" (Inggris: Algebra) diadopsi dari judul kitabnya, Kitab al-Jabr wa al-Muqobalah. 
 
Silahkan cek kitabnya di https://goo.gl/P9EEDW

 
Sejarah Singkat Ilmuan Matematika
 
Muhammad Bin Musa Al Khawarizmi adalah penemu ilmu aljabar, ilmuwan, dan tokoh ilmu pasti yang paling besar di dunia Islam. Dia juga ahli astronomi dan geografi yang sangat ulung.
 
Para ilmuwan Eropa mengenal namanya Algorismus. Dari namanya, diambil istilah algorism (logaritma). Dialah yang mempersiapkan ringkasan sebagian jadwal astronomi India kepada khalifah al-Ma’mun, yang dikenal dengan nama “Sind-Hind”, diambil dari bahasa sansekerta Sidhanta. Dia juga menulis sebuah buku yang memuat tempat-tempat yang dihuni di Bumi dengan merujuk kepada buku Ptolomeus dalam bidang geografi. Akan tetapi, karangannya dalam bidang ilmu pasti dianggap lebih penting daripada karya-karya lainnya. Salah satu bukunya dianggap sebagai dasar ilmu aljabar, bahkan kata algebra (aljabar) diambil dari nama bukunya; pada saat yang sama buku lainnya termasuk buku yanga pertama kali, dalam bidang ilmu hitung, menggunakan bilangan puluhan yang kita gunakan hingga sekarang, dan juga dipakai orang seluruh dunia, yaitu bilangan yang dinamakan oleh para pengarang Arab “ bilangan India”, dan disebut oleh orang Barat “angka Arab”. Orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu hitung mengetahui kelebihan angka sepuluh yang memiliki kedudukan tersendiri dibandingkan dengan aturan enampuluhan yang dikenalkan oleh orang Yunani. Al-Khawarizmi dan orang-orang sesudahnya menemukan berbagai cara operasional dalam ilmu hitung yang macam-macam. Seperti penjelasan mengenai akar empat dalam bilangan dengan cara hitungan.
 
Hingga abad ketiga belas, Eropa Barat masih memakai angka Romawi yang tidak begitu dikenal, bahkan makin menambah susah dalam operasional ilmu hitung, dan memperlambat teori ilmu pasti. Kemudian ilmuwan Eropa mulai menggunakan angka-angka Arab yang dipergunakan oleh al-Khawarizmi. Itu berkat jasa ilmuwan Italia Leonrdo Febonatchi pada tahun 1202 M, yang menjelaskan bagaimana tanda puluhan dapat menyederhanakan operasional hitungan dan memperluas jangkauannya.
 
Pada saat itu pula, orang Prancis mulai memakai angka tersebut dalam praktik hitungan mereka. Dengan dimulainya penggunaan angka tersebut, ada beberapa kata Arab yang mamsuki bahasa Eropa. Bahasa Prancis untuk kata “Chiffre” dan bahasa Jerman untuk kata “Ziffer”, serta bahasa Inggris “Chiper” dan juga bahasa Prancis dan Inggris untuk kata “Zero” semuanya berasal dari kata “Shifr” dalam bahasa Arab, yang artinya nol. Kata ini dipakai untuk menjelaskan kekosongan pada tingkat hitungan tertentu: satuan, puluhan, ratusan dan sebagainya. Bilangan nol ditulis bulat dan di dalamnya kosong.
dalam bidang aljabar, belum pernah ada metode yang bagus kecuali setelah al-Khawarizmi menulis bukunya yang berjudul al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Uraian dan perkalian merupakan operasi bagi semua masalah ilmu pasti yang terangkum dalam enam persamaan.
1. AB2 = CB
2. AB2 = D
3. AB = D
4. AB2 + BC = D
5. AB + D = BC
6. BC + D = AB2
Yang lebih ekstrem lagi ialah keterpengaruhan bahasa Spanyol oleh bahasa Arab. Dalam bahasa Spanyol, dua kata bahasa Arab, al-jabr dan al-kasr betul-betul digunakan persis seperti penggunaan dalam bahasa Arab; baik untuk pecahan dalam hitungan maupun untuk pecahan dalam benda, seperti pecahnya tulang dan lain-lain.
 
 
sumber: Tokoh-Tokoh Sejarah Islam

Jumat, 01 September 2017

Minggu, 18 Juni 2017

Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

A.        Sejarah Singkat PMRI
Sebelum membicarakan tentang landasan filosofi PMRI atau Realistik Mathematic Education (RME) akan dipaparkan terlebih dahulu sejarah singkat RME, (Panhuizen, 2001: 2-3). RME mulai dikembangkan sekitar awal tahun 1970-an. Freduental dan koleganya meletakkan fondasi untuk pembentukan IOWO, yang merupakan cikal bakal terbentuknya Institut Freduenthal. Gerakan ini pada awalnya diinspirasi oleh proyek Wiskobas yang diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffire sekitar tahun 1968.
Pendekatan pembelajaran RME dipengaruhi oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman siswa, dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Freudenthal menekankan ide bahwa matematika sebagai suatu aktivitas insani (human activity). Pembelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada siswa dengan bimbingan guru siswa diharapkan dapat menemukan kembali matematika dengan jalan mengerjakannya. Hal ini berarti dalam pendidikan matematika yang menjadi sasaran utamanya adalah matematika sebagai kegiatan dan bukan sebagai sistem tertutup. Fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau matematisasi. 
Siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan RME diberi kebebasan untuk dapat mendiskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan dengan caranya sendiri kemudian dengan bimbingan guru siswa diarahkan untuk mendiskripsikan dan menyatakan penyelesaian tersebut secara formal. Proses penjelajahan, penginterpretasian, dan penemuan kembali dalam pendekatan RME menggunakan konsep matematisasi horizontal dan matermatisasi vertikal, yang diinspirasi oleh cara-cara pemecahan masalah dengan cara informal yang digunakan oleh siswa (Freduenthal, 1991: 41). Graveimeijer (1994: 84) menggambarkan kedua proses matematisasi tersebut dalam gambar berikut.

 
Gambar 1. Matematisasi Horisontal dan Vertikal

Proses dalam matematisasi horisontal bisa digambarkan secara singkat sebabagi berikut. Siswa dihadapkan pada soal-soal kontekstual yang harus dipecahkan/diselesaikan. Siswa mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa lain.
Dalam matematisasi vertikal, dimulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang disusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelasaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan kontekstual (Sutarto Hadi, 2005: 21). 
 
B.        Prinsip Kunci RME
Gravemeijer (1994: 90-91) menjelaskan prinsip kunci RME, selanjutnya prinsip diapopsi dan digunakan dalam melaksanakan PMRI. Prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1.        Penemuan (kembali) secara terbimbing (guided reinvention)
Melalui proses pemecahan masalah yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui oleh pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep metematika.
2.        Fenomena didaktik (didactical phenomenology)
Topik-topik matematika yang diajarkan mesti dikaitkan dengan fenomena sehari-hari. Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu aplikasinya dan kontribusinya untuk perkembangan matematika lebih lanjut.
3.        Pemodelan (self development models)
Pengembangan model yang dilakukan sendiri oleh siswa dapat digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Melalui pembelajaran dengan pendekatan RME, siswa mengembangkan model mereka sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual. Pada awalnya, siswa akan menggunakan model pemecahan yang informal (model of). Setelah terjadi interkasi dan diskusi dikelas, salah satu pemecahan dilakukan siswa akan berkembang menjadi model yang formal (model for).
  
C.        Karakteristik RME  
Treffers dalam (Gravemeijer, Van De Heuvel, Streefland, 1990: 4-7), merumuskan karakteristik RME sebagai berikut:
1.        Constructions stimulated by concreteness
Dalam pembelajaran dengan RME  masalah nyata dijadikan titik awal pengalaman pembelajaran. Siswa diharapkan bisa mengeksplorasi masalah nyata tersebut, menemukan dan mengidentifikasi konsep matematika yang relevan, membuat skema, dan mengembangkan model yang dihasilkan. Selanjutnya dengan refleksi dan generalisasi diharapkan siswa dapat mengembangkan konsep matematika tersebut lebih sempurna.
2.        Development mathematical tools to move from concreteness to abstraction
Pembelajaran konsep atau skill matematika merupakan proses panjang yang melalui level/tingkatan abstraksi yang berbeda. Perlu diberikan kesempatan yang panjang kepada siswa dalam level untuk proses pengembangan abastraksi. Untuk membantu siswa dalam mengembangkan konsep matematika mula-mula perlu diberikan alat bantu yang nyata, kemudian secara bertahap alat bantu yang diberikan diganti dengan alat bantu yang lebih bersifat formal.
3.        Stimulating free productions and refletion
Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara formal, melalui skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi masalah matematis secara formal.
4.        Stimulating the social activity of learning by interaction
Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
5.        Intertwining learning strands in order to get mathemathical
Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik.

D.         Pengertian Pendekatan PMRI
Landasan filosofi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah Realistic Mathematics Education (RME). Seperti telah disampaikan teori berangkat dari pendapat Frudenthal (1991: 14) bahwa matematika aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari sifat matematika sesorang dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
Pengertian masalah nyata dalam hal ini bisa benar-benar masalah yang disajikan berasal dari kehidupan sehari-hari, namun bisa juga berupa suatu masalah yang dapat dibayangkan dalam benak siswa. Hal ini juga dapat dikategorikan sebagai masalah nyata, sebagaimana yang dikemukakan oleh Panhuizen (2001: 3). Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dunia formal matematikapun dapat dijadikan sebagai masalah kontekstual sepanjang hal itu nyata dalam benak siswa.
Berbeda dengan pembelajaran konvensional pembelajaran PMRI  tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh soal dan penerapannya. Namun sifat-sifat, definisi, teorema, itu diharapkan ditemukan kembali oleh siswa melalui kegiatan pembelajaran pemecahan masalah dengan konteks yang relevan (Wijaya, 2011: 28).
Berdasar uraian tersebut maka dapat disimpulkan pendekatan pembelajaran PMRI adalah pendekatan pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan masalah nyata (kontekstual), dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri baik secara individu maupun dalam kelompok kecil. Kemudian dengan bimbingan guru siswa diarahkan untuk dapat merumuskan penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk matematika formal.

E.        Karakteristik PMRI   
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan pembelajaran yang diadopsi dari RME, sehingga memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan ciri-ciri yang dimiliki RME (Wijaya, 2012: 21-23), yaitu sebagai berikut.
1.        Penggunaan masalah kontekstual
Konteks atau masalah realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran. Melalui konteks, siswa dilibatkan secara akatif untuk melakukan kegiatan eksplorasi masalah. Hasil eksplorasi siswa diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah, disamping bertujuan untuk menyelesaikan masalah.
2.        Penggunaan model  
Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan dan matematika tingkat konkret menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model tidak identik dengan alat peraga, model dalam hal ini merupakan suatu alat vertikal dalam proses matematisasi horizontal. Model merupakan proses transisi dari level matematika informal menuju level matematika formal.
3.        Pemanfaatan hasil kinstruksi siswa
Sesuai dengan pendapat Freudental, bahwa matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai produk jadi yang siap dipakai. Matematika merupakan kegiatan, konsep-konsep matematika dibangun kembali oleh siswa dalam kegiatan pemecahan masalah realistik.
Siswa diberi kebebasan mengembangkan strategi dalam memecahkan masalah. Dengan demikian bisa diperoleh strategi pemecahan masalah yang beragam.  Karakteristik ketiga ini dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa serta bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika.
4.        Interaktivitas
Proses belajar merupakan proses sosial, bukan hanya proses individu. Proses belajar siswa akan lebih singkat dan bermakna ketika terjadi interaksi sosial di dalamnya. Dengan interaksi sosial siswa dapat saling mengkomunikasikan ide, gagasan dan hasil kerja mereka, sehingga diharapkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep matematika semakin baik dan utuh.
5.        Keterkaitan
Konsep-konsep dalam matematika memilki keterkaitan  satu dengan yang lainnya. Dalam proses pembelajaran keterkaiatan antar konsep ini harus dipertembingkan, agar siswa dapat memahami bahwa konsep-konsep dalam matematika tidak berdiri sendiri, tidak bersifat parsial. Dengan demikian siswa dapat memahami matematika secara bermakna.
 
F.         Konsep PMRI
Dikemukakan oleh Sutarto Hadi (2005: 36) bahwa teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, konterktivitisme dan pembelajaran kontekstual (CTL). Namun baik kontruktivisme maupun pembelajaran kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMRI suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengemabangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan dengan konsepsi PMRI ini. Sutarto Hadi (2005: 38:40), mengemukakan beberapa konsepsi PMRI tentang siswa, guru dalam pembelajaran yang mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga PMRI pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
1.        Konsepsi PMRI tentang siswa adalah sebagai berikut.
a.     Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
b.     Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
c.  Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d.   Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
e.    Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
2.    Konsepsi PMRI tentang guru adalah sebagai berikut.
a.      Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran
b.     Guru harus mampu mampu pembelajaran yang interaktif
c.  Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan real. 
d.   Guru tidak terfokus pada materi yang ada di dalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia real, baik fisik maupun sosial


G.         Contoh Soal PMRI dalam KTSP


 
Kisi-Kisi Soal Pilihan Ganda Materi PtLSV


Standar Kompetensi:  Menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidak- samaan linier satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan masalah.

Kompetensi Dasar
Indikator
No. Butir
3.1  Membuat model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel
3.1.1. Menyebutkan informasi penting yang berkaitan dengan soal cerita yang berbentuk persamaan linier satu variabel
1
3.1.2. Membuat model matematika yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel
3
3.1.3.  Menyebutkan informasi penting yang berkaitan dengan soal cerita yang berbentuk pertidaksamaan linier satu variabel
4
3.1.4. Membuat model matematika yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel
5
3.1.5. Membedakan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel
2


Pilihlah dengan jawaban yang benar

1.    Berikut ini yang merupakan penerapan persamaan linier satu variabel dalam kehidupan sehari-hari adalah ....
a.    Harga 6 kg jeruk adalah tidak lebih dari Rp 20.000
b.    Dengan membeli 2 pensil dan 4 buku, Ratih membayar sejumlah Rp 8.000
c.    Andi membeli 2 kg mangga lebih murah Rp 3.000 dari harga 5 apel 
d. Dengan uang Rp 20.000, andi dapat membeli apel 2 kg dan masih ada kembalian Rp 2.000

2.    Pahamilah pernyataan berikut ini!

(i)      Sebuah kelas terdiri atas 40 siswa, dimana jumlah siswa laki-laki kurang dari 10 siswa perempuannya
(ii)     3 kg buah salak dengan uang Rp 10.000 masih ada kembalian Rp 1.000
(iii)   Dua kali kelereng Arif ditambah dua lebih sedikit dari pada jumlah kelereng Firman diambil delapan
(iv)   Harga 10 buah mangga, pembeli dapat membayar kurang dari Rp 25.000
Dari pernyataan diatas, yang merupakan masalah persamaan linier satu variabel adalah ....
a.    (i) dan (ii)                                                          c. (ii) dan (iii)
     b.   (i) dan (iii)                                                       d. (iii) dan (iv)

3.    Berat seekor ikan adalah p kilogram. Jika ditambahkan y kilogram maka beratnya menjadi 6 kilogram. Model matematika yang benar adalah  ....
a.    y = p – 6                                                           c. y = 6 – p
     b.  y = p + 6                                                          d.  y = p/6

4.  Berikut ini yang merupakan masalah sehari-hari yang tepat untuk menyatakan model matematika 4x + 6 < 17 adalah ....
a.    Jumlah seluruh kelereng Anton adalah tidak kurang dari 17, dan sebelumnya ia mempunyai 4x kelereng, lalu membeli sebanyak 6 kelereng.
b.    Sebelum membeli 6 kelereng, Romi telah mempunyai 4x kelereng, sehingga secara keseluruhan ia mempunyai kurang dari 17 kelereng
c.    Selisih 6 kelereng dari 17 kelerang Anton adalah kurang dari 4x buah kelereng keseluruhan 
d.   4x kelereng kakak diberikan adik 6 kelereng, sehingga jumlahnya tidak kurang dari 17 kelereng.
 
5. Seekor ayam mempunyai berat m kilogram. Jika ditambahkan 3m kilogram maka beratnya menjadi 14 kilogram. Model matematikanya adalah ....
a.  m = 3m – 14                                                     c. m = 14 – 3m
       b. 3m = m + 14                                                    d.  m = 3m/14





 Daftar Pustaka

Freduenthal, H. (1991). Revising mathematics education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. 

Gravemieijer, K.V.E, Panhuizen, V.H, & Sreeflan, L. (1990). Contexts free productions test and geometry in realistic mathematics education. Utrecht: Technipress.

 
Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan matematika realistik dan implementasinya. Banjarmasin: Tulip.

Panhuizen, M.H. (2001). Realistic mathematics education as work in progress, proceeding of 2001 the Netherlands and Taiwan conference on mathematics education. Taipei, Taiwan 19 – 23 Nopember 2001.

Wijaya, A. (2012). Pendidikan matematika realistik: suatu alternatif pendekatan pembelajaran matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.


 




*SEMOGA BERMANFAAT*